Rabu, 07 Desember 2011

kelas 5 SD

Barangkali, ada saat-saatnya, manusia kembali menjadi manusia. Bosan: melihat matahari, kepanasan; menghirup malam, kedinginan. Barangkali juga ada saatnya, pada suatu malam saya, kamu, mereka, akan membuka berkas-berkas tahunan, kemudian menemukan dokumentasi dan ah, tanpa sadar mata menjadi kuyup, kepala tertunduk, napas melembut, dan ibu jari sengaja atau tidak sengaja, mengusap lembaran-lembaran itu, lembaran masa lalu.

Beberapa lama, lembar-lembar itu membawa kita melupakan seduhan kopi yang mulai dingin, melupakan ideologi-kharisma-wibawa, melupakan tumpukan berkas tugas, melupakan esok yang datang hari ini, melupakan naif yang keseringan kita tampik: yang berlalu biarlah berlalu.

sekarang, yang berlalu, biarlah kembali.

Waktu itu, kalau tidak salah, kelas 5 SD, seorang Bapak Guru Bahasa Indonesia, memberi tugas. Masing murid membuat satu catatan khusus mengenai kedepan: mau jadi apa kamu? Ketika saya menulis kalimat ini, tiba-tiba saya merasakan perasaan itu. perasaan yang hambar, tapi terasa: saya begitu menggebu-gebu soal tugas itu dibanding tugas yang lain. Maka, saya buatlah selembar surat, ditujukan pada karib saya waktu itu, namanya Aulia--seorang karib yang lepas, bahkan hilang, entah kemana ia, setelah toga SD dibagikan.

Saya katakan pada Aulia di surat itu, surat yang dibacakan di depan kelas, kurang lebih begini, tentu dengan adapatasi dari ingatan saya yang jelek terhadap pribadi saya hari ini,
"ngga kerasa, ya? kita udah kelas 5, sebentar lagi kelas 6 dan ada EBTA. untuk nyiapinnya pasti kita butuh les, sampe sore. mungkin nanti ngga ada ceritanya lagi kita main bola di depan rumah Fajar, kan, les sampe sore. habis itu pasti ngga kerasa masuk SMP, mending kalo SMP-nya bareng. kalo misah gimana kita mainnya? aku ama Sagi mau masuk SMP (sebuah nama), bareng, yuk? habis SMP juga SMA, cuma tiga taun, kan?--kemudian lupa..."
Saya di hari ini menyadari, betapa saya waktu itu takut dengan masa depan, takut dengan teman yang berbeda, takut dengan kemungkinan-kemungkinan tak terprediksi. Takut tidak bisa main bola lagi.

Rupa-rupanya, ada benarnya juga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar