Sabtu, 24 Desember 2011

Tiga Hal untuk Daerah

Peninggalan dari tahun 2011

Sampai tulisan ini dibuat, saya belum berharap suatu saat nanti saya menjadi anggota DPD-RI, toh, jika memang cocok, tulisan saya ini tidak harus menunggu saya menjadi anggota DPD-RI untuk dilakukan. Pemikiran saya—masih sederhana, namun semoga bermanfaat—untuk pengembangan daerah lumayan banyak, namun tiga poin yang menurut saya paling penting sebagai berikut:

Pertanian, lebih spesifik masalah pangan masyarakat

Revolusi Hijau—atau Gerakan Bimas—beberapa waktu lalu, memang telah mengantarkan Indonesia mencapai Swasembada Beras pada tahun 1984, beberapa yang lain menyebutkan 1984-1989. Dampaknya, kini ada slogan di tengah masyarakat “belum makan nasi belum makan”. Mau bagaimana, hal ini rupanya bukan hal yang selalu menyenangkan. Indonesia menjadi langganan tujuan impor beras—terlepas dari kabar angin ini termasuk salah satu ‘objekan’ Bulog. Ini juga bukan masalah harga diri—Indonesia terkenal sebagai negara agraris. Ini pun mengenai kesejahteraan petani—yang kebanyakan berada di daerah. Sebagai mahasiswa pertanian, pernah terpikir dari saya bagaimana jika diadakan Revolusi Pangan Lokal. Sebuah revolusi sejenis Revolusi Hijau, namun dengan fokus komoditi pertanian sesuai daerah. Jika suatu daerah dulunya—sebelum Revolusi Hijau—makanan pokoknya singkong, kini kembalikanlah.

Transportasi

Saya kira, unsur ini fatal, entah bagi daerah penyokong pangan bangsa, daerah pelajar, atau daerah wisata. Transportasi yang saya maksud meliput sarana dan prasarana—termasuk efisiensinya. Daerah Bogor sendiri, rasanya jumlah angkutan kota semakin bertambah, padahal masyarakat yang memilki kendaraan pribadi sudah banyak. Hasilnya adalah kemacetan di titik-titik yang seharusnya tidak macet. Selain itu, jalan dan rambu-rambu lalu-lintas selama ini ada kesan dibuat dengan asal-asalan. Beberapa jalan rusak padahal beberapa bulan yang lalu selesai diperbaiki. Lampu lalu-lintas tidak berfungsi sehingga tidak dapat mengurai masalah lalu-lintas—sesuai ekspektasi ketika dibuat. Solusinya, untuk sarana transportasi perlu dibuat angkutan umum yang saya kira memiliki beberapa kriteria, yaitu dapat menampung banyak orang, waktu pemberangkatan jelas dan tepat, dan murah dan aman. Sedangkan, solusi untuk prasara transportasi adalah keinginan dari penyelenggara pengatur transportasi melakukan kerjanya secara optimal, baik dari perencanaan pengadaan, proses pengadaan, hingga perawatan prasarana. Kejujuran pemain paling penting disini.

 Sektor dan pembangunan ekonomi riil

Ketika saya berlibur ke Bali, sempat dalam pikiran saya ini bukan Indonesia. Terlalu banyak nama-nama asing di jalan-jalan—hasil penanaman modal asing mungkin. Demikian banyak pula coreng hasil penanaman modal asing di Indonesia. Bumi dan air Indonesia secara legal dijajah kembali. Contoh paling mudah adalah kasus Freeport. Maka, saya kira Indonesia tidak perlu lagi penanam modal asing. Indonesia bisa berdiri pada kaki sendiri. Mudahnya, jika akan dibuat hotel atau prasarana pariwisata lainnya, panggil seluruh tukang batu, genting, besi, dan lain sebagainya untuk menginvestasikan barang dagangan dan keahliannya. Saya yakin bisa, Indonesia adalah negara besar dan kuat. Identitas ini akan menguatkan pula ekonomi riil masyarakat—bukan pasar uang. Tukang batu, genting, besi, dan pelaku-pelaku lain yang terlibat dapat menjalankan bisnisnya dari mereka, oleh mereka, untuk mereka—tanpa ada tangan asing yang terlibat.

Saya kira masih banyak variabel-variabel lain yang mendukung pembangunan daerah, tapi menurut saya, tiga poin ini paling kritikal—dan perlu dilakukan sekarang.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar