Sabtu, 24 Desember 2011

Fem Mengajar

Ide ini sangat terinspirasi oleh Indonesia Mengajar, maka beberapa poin teknis kebanyakan mengadaptasi Indonesia Mengajar. Tulisan ini masih konsep kasar, mohon pola pikir yang digunakan tidak usah dipersulit, tapi diperinci. Seperti yang saya tuliskan pada judul, ide ini saya beri nama Fem Mengajar.

Sampai saat ini, saya heran cenderung miris ketika mendengar apa yang disebut pergerakan mahasiswa adalah demonstrasi--aksi lebih senang disebut. Saya akui beberapa perubahan di Indonesia diinisiasi oleh demo, seperti Reformasi 1998--walau ternyata belakangan saya ketahui, Reformasilah yang bikin Indonesia makin terjajah. Namun, ada juga perubahan yang dibawa oleh intelektualitas pemuda--atau sebutlah mahasiswa jika bicara kekinian. Lahirnya Sarekat Islam, Budi Utomo, Sumpah Pemuda, dan lain sebagainya. Jika dua jalan ini dibandingkan, demo dan intelektualitas, saya lebih suka yang kedua, intelektualitas. Yah, karena yang satu inilah kita disebut mahasiswa--pun tidak selalu menjamin begitu. Selama yang saya tahu--atau memang saya tidak tahu, saya bingung dengan pergerakan mahasiswa IPB. Entah kenapa saya merasakan hal ini masih bersifat euforia, keluar hanya pada saat tertentu seperti Peringatan Kebangkitan Nasional dan lain sebagainya, setelah itu selesai. Hambar.

Selama dua tahun lebih di IPB dan satu setengah tahun di Fem, saya terkesan dengan pengemasan acara BEM FEM. Sebutlah Extravaganza dan yang belakangan muncul adalah Bafest. Ini prestasi tersendiri--walaupun saya tidak pernah atau tidak mau ikut didalamnya. Banyak muncul kekaguman pada teman-teman di fakultas lain--setidaknya, itulah yang saya dengar. Tidak tahu, saya rasakan kepanitiaan seperti ini: perekrutan, proses pengadaan, acara, evaluasi, selesai. Saya yakin diantara runtutan tersebut terselip kesan. Kesan pada panitia dan peserta, namun saya merindukan sesuatu yang lain. Kesan kebermanfaatan jangka panjang, dalam batas bukan sebulan-dua bulan kesan-kesan tersebut menguap begitu saja. Ada sesuatu, yang saya kira, akan melahirkan kesan kebermanfaatan itu.

Hambar, itu saya rasakan setelah ujian. Betapa tidak, empat belas minggu kuliah, hanya mengejar dua minggu: masa UTS dan UAS. Pada beberapa pengakuan diri sendiri dan teman yang lain, kebanyakan kami lupa dengan apa yang kami pelajari beberapa saat setelah ujian. Hari ini, ada benarnya saya tidak dapat mengerjakan persoalan Metode Statistika sebagaimana saya mengerjakannya ketika semester tiga kemarin. Kehambaran ini mengantarkan saya pada kekhawatiran, apa nanti tugas akhir saya, skripsi saya, akan memeroleh perasaan yang serupa. Lalu buat apa saya kuliah? Ah, jika hanya sebatas mencari pekerjaan, tambah hambar rasanya. Saya juga ditakuti siklus hidup yang saya kira demikian hambar: Lahir, tumbuh dan berkembang, sekolah: SD lalu SMP lalu SMA lalu kuliah, lalu lulus sarjana, mencari pekerjaan, menikah, menghasilkan anak, mendidik anak, menyekolahkan anak, lalu mati. Bukan semua orang seperti itu, sih, tapi saya kira kebanyakan seperti itu. Rasanya, kalau benar demikian begitu, mana sisi dari pelaku siklus ini yang disebut manusia?--ah, sampai sekarang saya masih tidak mengerti definisi manusia.

Mengingat tiga hal pada tiga alinea diatas: pergerakan mahasiswa, prestasi-prestasi mahasiswa Fem dalam mengorganisir acara, dan manfaat keilmuan, saya kira cukup untuk melatarbelakangi Fem Mengajar. Saya kira ini sesuai jika ditempatkan untuk proker BEM yang didukung Himpro.

Dalam bayangan saya, Fem Mengajar berbeda dengan Bina Desa. Sepanjang yang saya tahu--atau saya memang sok tahu, Bindes fokus pada satu desa dan pada keilmuan Himpro atau LK yang bersangkutan. Fem Mengajar tersebar pada sekolah-sekolah dan sepanjang yang dibutuhkan. Maka, tidak menutup kemungkinan nanti ada seratus sekolah sebagai sasaran Fem Mengajar, dari PAUD hingga SMA. Disiplin ilmu yang diajarkan pun sesuai kebutuhan, tidak terbatas dari keilmuan ekonomi dan manajemen dan agribisnis saja. Bisa saja matematika, bahasa Indonesia, dan lain sebagainya. Saya mengusulkan pendidikan karakter keindonesiaan, kita sedang membutuhkan hal ini.

Terakhir, saya mengusulkan perencanaan teknis selanjutnya dilaksanakan oleh maksimal lima orang konseptor saja. Ada kerumitan yang terselip pada forum, belum lagi tumpangan-tumpangan lainnya, entah hasrat pengakuan sebuah nama atau kepentingan golongan tertentu, sebutlah parpol. Saya kira biarlah kebermanfaatan ini kita buat-buat sendiri dengan kepolosan-kepolosan kita sendiri.

3 komentar:

  1. 4 thumbs up hehe. Saya sering merasa jenuh dengan program di kampus. Dengan segala birokrasi dan persiapan yang panjang untuk manfaat program yang kurang kerasa pada jangka panjang. Saya dukung program ini, ka!

    BalasHapus
  2. usulnya keren bang. memang kalau di bina desa, kita hanya terfokus pada satu desa. tapi, di bina desa KM, kami sudah bergerak tidak hanya pengaplikasian ilmu kita di kampus, tapi juga ilmu yang mereka butuhkan.

    BalasHapus
  3. Makasih ya usimautauaja :) semoga jadi beneran ya hehehe

    mengejar mimpi, makasih ya infonya :)

    BalasHapus