Pada permulaan, saya bersyukur karena beberapa waktu yang lalu, saya
diletakkan untuk bersentuhan dengan masyarakat pertanian, dalam hal ini petani
padi, secara langsung.Bagaimanapun, citra masyarakat pertanian yang berada di
kalangan masyarakat kelas dua, saya rasakan.Ada senjang yang rasanya jauh
antara masyarakat pertanian di lapangan dengan laboratarium. Saya beropini
bagaimana jika hal ini karena selama ini, ilmu pengetahuan diletakkan pada
posisi nilai dan indeks prestasi, bukan pada manfaat.Namun, bahasan berikut
bukan mengenai hal tersebut. Saya meletakkan gagasan tersebut sebagai pemuka,
yang kemudian berkaitan satu sama lain dengan persoalan dibawah ini.
Pada tahun-tahun yang telah berjalan, saya mendengar—bahkan, turut
mengucapkan—cemooh-cemooh yang diberikan pada masyarakat pertanian lapangan
(selanjutnya disebut petani, atau malah, buruh tani). Petani, sebagaian besar,
diduga sebagai masyarakat yang tidak mendapatkan pengajaran formal yang cukup,
penguasaan teknologi budidaya rendah, penghasilan produk dan uang yang kecil,
dan sebagainya. Daftar ini dapat berturut-turut pada pembahasan laporan
mahasiswa—yang makin menjauhkan petani dengan cendekia pertanian di perguruan
tinggi. Maka, saya tidak heran, pertanian lapangan memang bidang kelas dua,
atau kelas tiga, yang tidak ada penerusnya. Ya, wajar, apalagi, pertanian
terkait tanah dan pupuk. Tangan dan kuku saja jadi berpikir dua kali,
bagaimanalah gengsi? Simpul yang dapat kita temukan adalah motivasi mengelola
pertanian rendah, ya atau tidak?
Dari sudut padang petani yang saya lihat, rendahnya motivasi
disebabkan beberapa hal, yaitu (1) luas penguasaan—atau lebih tepat
pengelolaan—rendah. Penguasaan lahan hanya seputar 1000-2000 m2 atau
dengan hasil 1-2 ton. Sementara 1 kg Gabah Kering Giling berkisar
Rp3.000-Rp4.000. Penghasilan kotor yang diterima berkisar Rp8.000.000, belum
dipotong biaya produksi, biaya sewa (jika sistem sewa), dan diperuntukkan satu
musim tanam, sekitar 3-4 bulan. (2) tidak ada pilihan bidang pekerjaan lain.
(3) lahan yang dikelola milik orang lain, dengan sistem sewa atau lainnya (4)
ada pilihan bidang pekerjaan lain yang lebih menjanjikan, terutama ada di
kota—inilah penyebab utama urbanisasi, menurut saya (5) penghasilan cukup,
dengan catatatan, untuk hidup prihatin di tengah gempita media menyiarkan
hedonisme. Saya mengurutkan secara acak, namun sesungguhnya latar belakang ini
saling terkait.
Menurut saya, latar yang melatarbelakangi latar belakang lainnya
adalah status penguasaan lahan, yaitu petani mengelola lahan milik orang lain,
singkat cerita menjadi buruh tani. Kalau begini, penghasilan tentu tidak
seoptimal rencananya. Penyerapan teknologi budidaya rendah, pengelolaan hasil
utama, sampingan, dan turunan hasil produk rendah, dan pemasaran berlangsung
lemah karena melalui tengkulak. Inipun saling berkaitan. Analoginya sederhana,
seorang pemilik dan penyewa mobil akan merawat mobilnya secara berbeda—karena
ada perbedaan motivasi disana. Seorang petani akan menghargai hasil pertanian
dari hasil tanah miliknya sendiri, kemudian berpikir bagaimana cara memeroleh
pendapatan lebih tinggi dari sana, melalui pengeloaan hasil yang memiliki nilai
tambah (seperti, pengolahan sekam menjadi briket sekam akan menghasilkan
pendapatan 10 kali lipat lebih tinggi). Apalagi, hasilnya adalah miliknya
sendiri, tidak perlu dibagi dua atau dibayarkan sewa—seperti sistem sewa. Hal
ini, ya, sangat normatif, diatas kertas.
Solusi kongkrit dari permasalahan yang dijabarkan diatas adalah
reforma agraria. Secara sederhana, reforma agraria adalah pengalihan
kepemilikan tanah, dalam konteks tulisan ini, dari perseorangan menjadi milik
negara. Setidaknya, dengan reforma agraria ini terdapat dua pilihan, yaitu:
1.
Reforma Agraria, kemudian
dibentuk Badan Usaha Milik Negara, dalam bentuk PTPN. Saya masih ingat, pada
UUD disebutkan bahwa hasil bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak
dikelola negara. Padi telah menguasai hajat hidup orang banyak. Indonesia
mengonsumsi beras sebanyak 132 kg per tahun per kapita, sedangkan, sebagai
contoh saja, Jepang hanya mengonsumsi 60 kg per tahun per kapita. Untuk
ketersediaan, Indonesia mengandalkan impor, terlepas dari minat politik dan
ekonomi sebagaian kalangan. Intensifikasi pertanian dengan peningkatan
teknologi budidaya rasanya, sementara ini, lebih efektif dilaksanakan dalam
pola “kepala-ekor” seperti pola perusahaan. Efeknya, selain penyerapan
teknologi lebih merata dan seragam, buruh tani yang menjadi buruh tani di PTPN
setidaknya mendapatkan kepastian pendapatan karena kepastian pemasaran.
Apalagi, PTPN lebih mungkin membangun infrastruktur kesejahteraan masyarakat
lainnya, seperti beasiswa dan rumah sakit. Selain itu, lahan pertanian lebih
bisa dijaga dari ekspansi pembanguanan industri yang menghabisi lahan
pertanian. Apalagi, baru-baru ini berkembang peraturan mengenai lahan pertanian
abadi untuk setiap kabupaten/kota.
Nantinya,
PTPN Padi dikategorikan atas varietas dan kondisi agroklimat. Hasilnya,
keamanan dan kepercayaan konsumen dapat lebih dijaga. Juga, pemusnahan genetika
seperti yang Revolusi Hijau lakukan dapat dihindari. Perguruan Tinggi dan
lembaga penelitian lainnya dapat masuk lebih terstruktur dan dalam. Akhirnya,
peneliti dan lulusan pertanian tidak tersasar di perbankan dan bidang lainnya. Ilmu
di kertas dapat bermanfaat daripada sekadar Indeks Prestasi atau prestasi yang
secara egois menerbangkan pemenangnya ke luar negeri dan sedikit demi sedikit
melupakan negeri sendiri.
2.
Reforma Agraria, kemudian
dibagikan kepada petani, dalam luasan yang menghasilkan kelayakan bisnis yang
baik, seperti terlampaui titik impas (atau dalam bahasa asing adalah BEP)dengan optimal dan efektif. Menurut
saya, pilihan kedua ini dapat dilakukan dalam beberapa kondisi, yaitu (1)
sistem sosial ekonomi masyarakat telah kembali pulih dari kerusakan yang tengah
berlangsung saat ini (2) sehingga masyarakat dapat mengumpulkan kekuatannya
dalam institusi sosial ekonomi seperti poktan, koperasi, atau sebagainya, yang
jelas dapat berlangsung kongkrit (3) masyarakat sasaran telah sadar mengenai
definisi mandiri dan menolong diri sendiri (4) masyarakat sasaran, dan umum,
sadar betul mengenai pentingnya petanian (5) pemerintah tidak melaksanakan ini
untuk objek penghasilan tambahan yang tidak resmi dan tidak pantas. Pilihan ini
lebih rumit dibanding sebelumnya.
Bahaya
yang ditimbulkan adalah terulang kembali kondisi sebelum reforma agraria, yaitu
luas kepenguasaan rendah, yaitu disebabkan salah satunya sistem waris. Salah
satu alasan mengapa luas penguasaan atau pengelolaan lahan petani rendah adalah
waris. Mulanya, seorang petani yang memiliki, misal, satu hektar sawah memiliki
sepuluh anak yang masing-masing akan mendapatkan luas lahan waris yang sama.
Dengan hal ini, luas lahan sawah yang mulanya besar menjadi kecil karena dibagi
oleh sistem waris. Maka, pilihan yang kedua harus mengelola sistem waris ini. Salah
satu caranya adalah penyeleksian waris dengan pendidikan pertanian wajib
(seperti wajib militer) kepada salah seorang anak petani. Nantinya, lahan waris
hanya diberikan kepada anak tersebut. Adapun, ketika petani yang bersangkutan
tidak memiliki anak, dapat dengan menunjuk masyarakat sekitar.Sekali lagi,
pilihan ini sangat berbahaya dan normatif. Bahaya selanjutnya adalah jika
petani menjual lahannya kepada orang lain, yang dapat memecah luasan lahan.
Kondisi tersebut dapat ditanggulangi dengan sanksi. Sekali lagi, dengan kondisi
ini, diperluakan struktur pengawasan yang apik—yang normatif. Apabila, pilihan
ini dilihat dari sistem sosial masyarakat yang sekarang.
Seperti yang telah disebutkan diatas, kepemilikan lahan
sawah, sebagaian besar, dimiliki bukan oleh pengelolanya. Apabila,
pilihan-pilihan reforma agraria diatas dilakukan, imbalan jasa bagi pemilik
tanah yang diambil oleh negara bukanlah uang, melainkan obligasi atau surat
berharga lainnya. Apabila, pilihan pertama dilakukan, obligasi ditanam di PTPN
Padi yang bersangkutan, sedangkan, jika pilihan kedua dilakukan, obligasi
ditanam di PTPN yang menangani komoditi lainnya, seperti teh atau kelapa sawit.
Obligasi dipilih, bukan uang tunai, karena tujuan seseorang memiliki lahan
adalah untuk investasi.Ada baiknya, investasi yang dilakukan bergerak
cepat.Selain itu, BUMN dapat dimiliki oleh pribumi, apalagi ditengah gelombang
Penanaman Modal Asing yang tengah marak.Bukan apa-apa, ini dimaksudkan agar
Indonesia benar-benar merdeka dari sisi keuangan dan pembiayaan.Sistem obligasi
yang dipilih adalah obligasi bagi hasil, bukan bagi bunga modal.Hal ini dipilih
untuk meringankan beban institusi yang dipilih untuk penanaman obligasi.Selain,
memeroleh berkah, bukan musibah.
Ada kesan pilihan-pilihan diatas berbau sosialis, atau
komunis, sementara Indonesia membela demokrasi. Rupanya, mari kembali ke muasal
pemikiran bahwa padi, beras, adalah komoditi yang menguasai hajat hidup orang
banyak. Sedangkan, UUD mengamanatkan pengelolaannya dilakukan oleh negara. Saya
tidak terlalu dalam menelusuri perkembangan konstitusi, apalagi setelah
reformasi dan amandemen yang membingungkan dan tidak dapat dipercaya. Saya
menunggu masukan yang membangun.
Terakhir, saya yakin sekali pemikiran ini sangat normatif, apalagi di kehidupan republik, mungkin dapat terjadi di kerajaan atau republik serikat.
Terakhir, saya yakin sekali pemikiran ini sangat normatif, apalagi di kehidupan republik, mungkin dapat terjadi di kerajaan atau republik serikat.
Catatan bagi pembaca senior dan dosen:
Saya memiliki minat mengembangkan pemikiran ini menjadi
karya ilmiah—yang salah satunya skripsi.Saya menyadari tulisan ini sangat
normatif dan sulit menakar indikator keberhasilan atau pengamatan kondisi
sebelum dan sesudah.Maka, saya mohon untuk memberikan masukan agar tulisan ini
dapat lebih aplikatif—tentu, saya mohon dari pembaca pada
umumnya pula.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar