Jumat, 14 Oktober 2011

punya muka

"Dulu kita memang ngga punya apa-apa. Tapi, kita punya muka. Dan aku bangga punya dia (dia=Soekarno)" -- Wedha Abdul Rosyid
numpang ngambil dari web sebelah. ini dia WPAP.
Gue sangat suka kutipan itu. Mungkin juga, karena gue juga sama-sama pengagum Soekarno. Bener kata Wedha, dulu kita punya muka. Implisitnya, sekarang, kita udah ngga punya muka.

Wedha Abdul Rosyid adalah seorang ilustrator. Karya-karyanya sering lewat di majalah Hai mulai sekitar tahun 70-an, kalo ngga salah. Nama Wedha bisa kita temui kalo kita pernah liat gambar siluet tokoh Lupus yang lagi buat balon permen karet. Ya, itu dia Wedha. Wedha ilustrator novel Lupus karangan Hilman. Yang gue kagumin dari Wedha adalah dia sekitar tahun 90 awal, ngebuat jalur seni lukis sendiri. Singkat cerita, dimanakan WPAP, Wedha Pop Art Potrait. WPAP bentuknya gambar muka yang dijadiin kartun kotak-kotak dengan warna bebas selain warna kulit. Gue suka WPAP. Nyeni banget. Dan itu buatan orang Indonesia. Dibuat oleh Wedha. WPAP sendiri sekarang pelan-pelan udah kecium sama dunia. Hebat!
nih dia salah satu karya Wedha dulu



Dan kutipan yang bikin gue kagum sama Soekarno adalah,
"Go to hell with your aid"
dan dia berkata demikian buat yang ngga tanggung-tanggung. Blok barat yang baru aja menang Perang Dunia II waktu itu. Gila, berkarakter banget. Belum lagi pidatonya ketika Indonesia lagi konfrontasi sama Malaysia waktu itu. Gue yang ngedenger rekaman pidatonya, setelah pidato asli diteriakkan, rasa-rasanya gue pengen ngambil pacul dan celurit untuk ikut berperang. Gila.


Emang bener kata Wedha, dulu kita punya muka.
Lalu, sekarang apa kita ngga punya muka? Entahlah, gue ngerasa bener juga. Sekarang, kita tergila-gila dengan International Student Summit dan semacamnya seperti itu. Yang penting, luar negeri! Ya, itu memang prestasi, tapi apakah dengan itu Indonesia tambah mapan? Bener-bener merdeka?

Dari berbagai literatur, Indonesia kembali dijajah, secara legal, sejak Soekarno jatuh dan seorang diktator berkuasa. Singkatnya, namanya globalisasi. Globalisasi bukan hilangnya batas-batas dagang antar negera. Ngga, ngga sesederhana itu. Globalisasi adalah perpindahan uang secara besar-besaran dan aman, dalam bentuk pabrik. Maka, sekarang bisa tuh kita nikmatin produk sepatu olahraga dengan logo centang, atau dengan pola garis tiga, dan produk baju terkemuka, yang ketika namanya dibahasaIndonesiakan jadi aneh, yaitu "kesenjangan". Ah, cuma khayalan gue aja mungkin. Dan parahnya, nasib buruh pabrik itu ngga dijamin, dari jam kerja dan lembur yang nyampe 36 jam dengan istirahat dua jam sampe upah yang bahkan ngga bisa buat beli tali sepatu. Aih, globalisasi? Kemana saja mahasiswa?

Nol karakter. Kita butuh karakter!

Bisa kita lihat sendiri, kita belajar mati-matian bahasa Inggris supaya suatu saat nanti ketika sampai kaki disana, kita bisa berkomunikasi dengan baik. Oke! Boleh! bolehlah kita hormati Tuan rumah. Tapi, kenapa juga kita harus repot ketika ada bule-bule luar negeri datang ke negeri sendiri, kita pakai juga bahasa mereka?
"Kalau Bung datang ke Indonesia, pakailah bahasa Indonesia"
Orang-orang Jepang, ngga malu ketika ada hidung mancung datang ke negerinya, ngomong dengan bahasanya sendiri. Karakter!

Karakter yang ngga bisa dibeli dengan buai janji-janji ilmu dari negeri-negeri barat sana. Buat apa?
"kami tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami sendiri dan sejarah kami sendiri, timbullah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih sesuai, sesuatu yang lebih cocok." (Ir. Soekarno)
Sadar ngga sadar, kita sekarang dibentuk dengan konsepsi liberal, maksimisasi keuntungan. Baik, keuntungan yang maksimal memang mengantarkan semakin dekat dengan kesejahteraan, tapi juga keserakahan.

di dunia ini, ada satu perusahaan dengan jajaran direksi sekitar 200-an orang yang pendapatannya per tahun sama dengan pendapatan negara miskin di Afrika yang penduduknya seribu kali lipat lebih banyak. Di Indonesia sendiri, produk liberal sudah demikian lekat. Kita bangga dengan slogan "ini di dalam saya" sedangkan air kita sedang dicolong habis-habisan. Belum lagi emas di pojok timur Indonesia yang dikuras habis, sementara warga disana saling bunuh. Aih, apa yang akan dikatakan Soedirman jika dia masih hidup? Turunkan tanganmu, Jenderal! Apa yang akan ditulis Muhammad Yamin jika dia melihat anak-anaknya seperti ini? Tiada bahasa, Bangsa pun hilang (sajak M. Yamin, 1921)


Mereka, orang-orang tanpa BB, blogspot, android, dan sebagainya yang mudah-mudah itu, sudah berbuat banyak untuk negeri ini. Pemikiran-pemikiran, Sumpah Pemuda, darah dan air mata, dan segalanya. Kecuali, Muka!--yang kita jual murah sekarang-sekarang ini.


1 komentar: