Naik kendaraan umum menyenangkan. Di depan kursiku bukan jalan panjang membentang. Di depanku ada cerita yang dibagi, tentang waktu yang berjalan dan cerita di dalamnya. Ada kejutan diantaranya, nah, itulah yang membuatnya menjadi menyenangkan.
Saat ini, aku punya satu-dua teman seperjalanan, untuk perjalanan yang kali sepakati untuk sama. Aku dan satu temanku ini sama-sama lelah untuk membungkuk mencari hormat. Itu sudah kami lakukan sepanjang lebih dari setengah usia kami saat ini. Aku dan satu temanku sepakat untuk lelah dan membungkuk karena berjalan, bukan mengiba.
Punya teman perjalanan memang menyenangkan. Ada banyak cerita lain yang bisa dibagi atau dikerjakan bersama--walaupun bodoh, aku menikmatinya. Belajar bukan sekadar mengamati.
Bukan tertipu yaitu kosakata yang pas untuk mewakili ini. Aku hanya kecele sedikit. Setelah ibunya, ada pacarnya, yang membuat peta perjalanan satu temanku itu berubah. Ini bukan tipu dayanya. Ini adalah keputusannya. Toh, tidak ada peta perjalanan yang benar-benar sama. Toh, di peta perjalanannya yang diperbaruhi, masih ada arah menuju tujuan kami. Waktu adalah bahan bakarnya.
Aku memaafkan diriku di atas bianglala yang disediakan pemkot batu. Naiknya hanya tiga ribu rupiah. Aku ke sana sendirian. Barangkali, itu sebabnya aku bisa fokus pada diriku sendiri. Aku menikmati setiap prosesnya. Aku tidak sedih. Aku serius bicara seperti ini. Tidak ada asosiasi makna di paragraf ini.
Sore ini, aku ngga di batu. Ia sejauh tujuh kilometer saja. Aku ingin naik bianglala, tapi ngga bisa. Aku ngga bisa menikmati senja di kota batu, padahal bohlam motor bulekku sudah kuganti, jadi ngga takut kalau pulang lewat petang. Tapi, tetap saja aku ngga boleh sedih. Dia bilang bercanda kok. Tapi, aku tetap saja sedih. Ya, aku memang ngga sebercanda itu.
Jumat, 07 Oktober 2016
Selasa, 09 Agustus 2016
Mata-Mata Curiga
Yang paling saya senangi dari hujan adalah dia datang langkah yang ritmis, kompak walaupun dalam rintik atau deras, lama atau sebentar. Maka maklum, lihailah mereka mencuri pandangan saya dari layar-layar atau grafik-grafik. Pintar sekali mereka menolehkan dagu saya pada topangan kedua tangan yang melipat, Mata saya digandeng, dijodohkan bersama kontemplasi yang bermain diantara ritmis itu. Ritmis kata sifat, bukan kata benda. Tapi, peduli apa soal itu?
Hujan menghapus gerah masa bodoh berapa lama ia telah tinggal. Tidak perlu menyelisihi berapa lama hujan akan datang, yang penting ia sudah datang sebelum waktu akhir yang telah ditetapkan. Saat saya menulis ini, saya tidak dapat menunjuk kosakata apa yang lebih pas untuk mengatakan hujan telah datang. Hidung saya kembang-kempis, Tangan saya gemetaran. Apalagi bicara langsung, via saluran telepon atau nirkabel lainnya. Saya pun merasa aneh. Habis sifat-sifat ke-purbakala-an saya itu.
Hanya saja, kali ini hujan saya tahan supaya lama. Setidaknya, sampai saya meninggalkan dunia ini. Hujan ini harus saya jaga. Saya ingin selamat. Saya tidak bertopang dagu lagi, melihat dari kejauhan. Kali ini, saya akan berada di tengah hujan. Dan tahukah kamu? Kamulah awan yang menaungi hujan. Kamu adalah iklim yang membuat hujan berlama-lama.
Kamu bukan sekadar penyela. Kamu bukan juga penggembira. Mereka-mereka itu adalah anak-anak kecil yang masih penasaran dengan rasa permen. Kamu juga tidak sesimpel cuaca, kamu iklim. Kamulah awan--alasan kenapa hujan tetap turun. Setidaknya, itu rencana-rencana saya, entah bagaimana disposisi-Nya via jawaban "Ya" atau "Tidak" yang kamu katakan.
dan saya tidak menemukan kosakata apa yang paling pas untuk mendefinisikan ini.
Hujan menghapus gerah masa bodoh berapa lama ia telah tinggal. Tidak perlu menyelisihi berapa lama hujan akan datang, yang penting ia sudah datang sebelum waktu akhir yang telah ditetapkan. Saat saya menulis ini, saya tidak dapat menunjuk kosakata apa yang lebih pas untuk mengatakan hujan telah datang. Hidung saya kembang-kempis, Tangan saya gemetaran. Apalagi bicara langsung, via saluran telepon atau nirkabel lainnya. Saya pun merasa aneh. Habis sifat-sifat ke-purbakala-an saya itu.
Hanya saja, kali ini hujan saya tahan supaya lama. Setidaknya, sampai saya meninggalkan dunia ini. Hujan ini harus saya jaga. Saya ingin selamat. Saya tidak bertopang dagu lagi, melihat dari kejauhan. Kali ini, saya akan berada di tengah hujan. Dan tahukah kamu? Kamulah awan yang menaungi hujan. Kamu adalah iklim yang membuat hujan berlama-lama.
Kamu bukan sekadar penyela. Kamu bukan juga penggembira. Mereka-mereka itu adalah anak-anak kecil yang masih penasaran dengan rasa permen. Kamu juga tidak sesimpel cuaca, kamu iklim. Kamulah awan--alasan kenapa hujan tetap turun. Setidaknya, itu rencana-rencana saya, entah bagaimana disposisi-Nya via jawaban "Ya" atau "Tidak" yang kamu katakan.
dan saya tidak menemukan kosakata apa yang paling pas untuk mendefinisikan ini.
Senin, 08 Agustus 2016
Empat Tahun yang Lekas
Mencatat sama seperti mempermalukan diri sendiri; saya 10 hari kemudian pada 4 tahun yang lalu sedang ditertawakan oleh saya pada hari ini.
Tertawa, saya begitu naif untuk mengamati dunia. Menunjuk banyak hidung orang, tanpa satupun mata yang saya punya melihat ke dalam.
Mencatat, sama seperti menunjukkan sepertiga siapa dirimu sebenarnya. Kertas adalah media objektif, penulis adalah tintanya.
Empat tahun ini, saya pencatat yang buruk. Hanya saja, ini tidak berputar pada soal menyesal atau menyumpahi diri sendiri. Percuma. Empat tahun yang buruk itu sudah lewat dan saya sungguh beruntung saya tidak mati pada selang waktu itu.
....
....
Semua bicara soal ukuran dan parameter. Sebagian ukuran dinikmati bersama-sama, sebagiannya yang lain ditakuti, lantas dibuang. Padahal, barangkali itulah ukuran yang dapat dipercaya.
Pencatatan kali ini tidak jelas alur, pun arahnya. Saya ingin ini menjadi penanda, pencatatan ini soal rasa syukur, akhirnya waktu memaafkan saya untuk berlarian diantara 27 alfabet dan pemikiran-pemikiran yang tidak semuanya bisa ditumpahkan pada catatan ini.
Kepinginnya, waktu dan saya bisa akur beberapa lama diantara seminggu, misalnya ia memberikan saya majelis untuk akur dengan tidur. Hampir satu minggu ini tidak bisa. Hanya sebentar, waktu tidak perlu cemburu. Atau akur dengan waktu berhenti sejenak dari segala kengototan target-target. Berhenti sejenak. Lantas menulis buku harian. seperti ini.
Bismillah, shift
Langganan:
Postingan (Atom)