Sabtu, 24 Desember 2011

mengenai idealisme


Hegemoni Liberalisme Serakah*
Oleh : Wilaga Azman Kharis

“…Kami tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami sendiri dan sejarah kami sendiri, timbullah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih sesuai, sesuatu yang lebih cocok…”

Beberapa waktu belakangan ini, saya sungguh menghayati perkataan Ir. Soekarno diatas dalam Pancasil sebagai Dasar Piagam yang Universal untuk Kesejahteraan Umat Manusia. Rasanya, hari ini saya hidup dalam hegemoni liberalisme. Kemudian, saya rasakan hal itu menjadi bentuk penjajahan baru, bukan dengan senjata api, melainkan dengan kesepakatan bisnis, teori-teori ekonomi, hutang, dan pemikiran-pemikiran masyarakat terpelajar. Mereka pribumi, setidaknya lahir dan badannya.
Media beberapa minggu terakhir ini, sibuk meliput kisruh Freeport. Para pekerja menuntut kenaikan upah, sementara beberapa orang tewas dihabisi oknum. Saya kira, hal ini wajar terjadi. Beberapa pengamat menyebutkan, di tanah Papua yang kaya raya sumber daya alam mineral tersebut, tampak kesenjangan secara kontras antara kawasan yang dikelola Freepot—yang mewah—dengan wilayah yang dimukim pribumi. Di bumi kaya akan logam mulia itu, pribumi tetap miskin. Simbol modernisasi disana adalah dengan mengenakan baju, sementara di ibukota dengan melepas baju. Ada desas-desus yang menyebutkan, hanya 1% dari keuntungan perusahaan tambang itu yang masuk ke kas Indonesia. Lebih jauh lagi, jumlah itu belum dipotong untuk upeti kas para Jenderal negeri ini. Entah benar atau tidak, saya berharap saya mendengar berita yang salah, tapi, jika desas-desus itu salah, kenapa tidak datang juga kesejahteraan di negeri ini? Dalam keterangan resmi Freeport, tertanggal 2 November 2011, Freeport telah membagikan sejumlah 2 milyar dolar AS kepada Indonesia. Jumlah tersebut dari pajak, royalti, dan deviden selama 9 bulan pertama di tahun ini (2011). Andai saja, jumlah tersebut hanya sebesar 1% dari seluruh keuntungan perusahaan tersebut, apa yang terjadi pada kesejahteraan rakyat Indonesia apabila Indonesia mendapatkan keuntungan 100%? Solusi ketegangan di bumi Papua adalah mudah, kembalikan Tembagapura—atau Emaspura—ke Papua dan Indonesia.
Serupa dengan Freeport, masih ada sumber daya alam lain yang terekspoitasi bukan untuk kemakmuran rakyat, sesuai Pasal 33 UUD 1945. Setelah eksploitasi, kemudian ditutupi oleh propaganda media dan beasiswa. Musim mudik tahun 2011, saya mendengar anekdot dari beberapa orang tua. Katanya, sombong sekali orang jaman sekarang (minum saja, kok, beli), dulu (kami) untuk minum tinggal cari sungai atau tinggal minta di rumah-rumah yang dilewati. Memang, dengan alasan kepraktisan, higenitas, dan lain sebagainya, jaman akan selalu berubah, begitu juga dengan kondisi sosialnya. Namun, sisi lain yang saya tangkap adalah bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya tidak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, namun dikuasai dan digunakan untuk kemakumuran label-label perusahaan air minum kemasan. Lalu, mereka menyebarkan propaganda media. Paling sering kita dengar adalah “it’s in me”. Padahal, sudah berapa liter air yang “dicolong dari pasal 33 UUD ‘45? Ada juga perusahaan minyak bumi asing yang menariknya, lebih dipercaya eksekutor-eksekutor pembagian penambangan minyak bumi daripada Pertamina. Kemudian, mereka membagi-bagikan beasiswa sebagai ganti atas blok Cepu yang mereka ambil. Berapa banyak anak-anak Bojonegoro yang bisa bersekolah jika tanah mereka dikelola oleh mereka (anak bangsa, red) sendiri?
Hegemoni liberalisme juga dapat ditemukan pada buku teks pendidikan. Pada dasar pelajaran ekonomi, prinsip yang ditekankan adalah memeroleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari sumberdaya yang sesedikit-sesedikitnya. Negara dunia ketiga, seperti Indonesia, cocok untuk mewujudkan prinsip tersebut. Dalam film Penguasa Baru Dunia oleh John Pilger, disebutkan celana pendek merek GAP yang dijual di Jalan Oxford seharga seratus dua belas ribu rupiah per potong, upah buruh yang memroduksinya di Indonesia sebesar lima ratus rupiah per potong. Demikian pula dengan sepatu olahraga, dengan harga jual satu juta empat ratus ribu rupiah, buruh di Indonesia hanya memeroleh upah sebesar lima ribu rupiah. Jumlah yang tidak cukup bahkan untuk membeli tali sepatu. Jam kerja buruh pun maksimal. Dalam film tersebut, menurut pengakuan buruh yang diwawancarai, mereka bekerja dua puluh empat jam dengan dua kali istirahat, lalu setelah dua jam, mereka bekerja kembali, atau sama dengan bekerja tiga puluh enam jam. Ada pula yang bekerja untuk proses finishing dari pukul delapan (pagi) hingga dua belas malam dalam kondisi berdiri. Pada sisi lain, untuk mempromosikan produk Nike, Tiger Woods dibayar lebih mahal daripada upah seluruh buruh untuk membuat sepatu tersebut. Buruh-buruh tidak dapat menolak perlakuan sedemikian rupa karena kemiskinan dan pengangguran. Prinsip ini bertolak belakang dengan amanat sila kelima Pancasila. Lalu, kenapa juga prinsip (liberal) ini masih digunakan dan kemudian diajarkan? Saya kira, untuk di Indonesia, prinsip dasar ekonomi ini harus dimodifikasi, sekiranya menjadi: memanfaatkan sumberdaya alam seoptimal mungkin untuk manfaat seoptimal mungkin. Saya lebih menyukai penggunaan optimal daripada sebesar-besarnya. Yang kedua mengesankan kondisi yang memaksa.
Adanya perusahaan-perusahaan multinasional serakah ini, pada beberapa catatan, saya menemukan karena dosa-dosa sejarah. Pintu-pintu hegemoni liberalisme ini dibuka setelah Presiden Soekarno—yang disebut oleh John Pilger adalah seorang nasionalis yang yakin akan kemandirian ekonomi rakyatnya—digulingkan oleh Orde Baru atau Peristiwa G30S. Setelah peristiwa itu (G30S) perekonomian Indonesia dibentuk dengan model barat agar Barat lebih mudah menguasai sumber daya alam mineral, kini dapat kita lihat hasilnya: Freeport, Exxon Mobil, dan lain sebagainya. Beberapa penulis menyebutkan Indonesia kembali dijajah (kembali) sejak 1967. Globalisasi adalah salah satu bentuknya. John Pilger menyebutkan pengertian globalisasi bukan hanya hilangnya batas-batas perdagangan antara negara, namun aliran uang yang besar dan aman dalam bentuk hutang.
Agaknya, sudah habis saatnya untuk menelusuri dosa-dosa dan kebohongan-kebohongan sejarah. Sudah habis juga kita bersikap pesimistis, Indonesia kalah dalam berbagai segi. Seringlah kita dengar dalam diskusi-diskusi atau obrolan di warung kopi betapa terpuruknya Indonesia. Saya sering menemukan itu dalam kuliah-kuliah. Dosen begitu asyik membandingkan sistem di Indonesia—yang begitu hancur, jelek, murah, dan lain sebagainya—dengan sistem yang kebanyakan dibandingkan dengan barat—yang demikian bagus, maju, dan apapun yang indah. Dengan bangga mereka mengatakan belajarlah ke negeri barat sana. Pola pikir mereka ini sudah demikian kebarat-baratan—dan akhirnya menurun pada murid-muridnya. Inilah fase dimana Indonesia kehilangan kepercayaan diri sekaligus ideologi. Masyarakat terpelajar sudah begitu nyaman dengan segala beasiswa dan jenjang sosial ke luar negeri sana. Padahal, kemakmuran Barat, disokong oleh Indonesia lewat sumber daya alamnya.
Kini, jika segala teknologi dan ideologi Barat sudah sedemikian maju—pun masyarakat terpelajar Indonesia banyak dari sana, lalu mengapa Indonesia tidak juga maju? “…Kami tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya?” (Ir. Soekarno)


*tulisan konsep untuk sesuatu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar