Hegemoni
Liberalisme Serakah*
Oleh : Wilaga
Azman Kharis
“…Kami tidak mengikuti konsepsi
liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami sendiri dan
sejarah kami sendiri, timbullah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih sesuai,
sesuatu yang lebih cocok…”
Beberapa waktu
belakangan ini, saya sungguh menghayati perkataan Ir. Soekarno diatas dalam Pancasil
sebagai Dasar Piagam yang Universal untuk Kesejahteraan Umat Manusia. Rasanya,
hari ini saya hidup dalam hegemoni liberalisme. Kemudian, saya rasakan hal itu
menjadi bentuk penjajahan baru, bukan dengan senjata api, melainkan dengan
kesepakatan bisnis, teori-teori ekonomi, hutang, dan pemikiran-pemikiran
masyarakat terpelajar. Mereka pribumi, setidaknya lahir dan badannya.
Media beberapa
minggu terakhir ini, sibuk meliput kisruh Freeport. Para pekerja menuntut
kenaikan upah, sementara beberapa orang tewas dihabisi oknum. Saya kira, hal
ini wajar terjadi. Beberapa pengamat menyebutkan, di tanah Papua yang kaya raya
sumber daya alam mineral tersebut, tampak kesenjangan secara kontras antara
kawasan yang dikelola Freepot—yang mewah—dengan wilayah yang dimukim pribumi.
Di bumi kaya akan logam mulia itu, pribumi tetap miskin. Simbol modernisasi
disana adalah dengan mengenakan baju,
sementara di ibukota dengan melepas baju.
Ada desas-desus yang menyebutkan, hanya 1% dari keuntungan perusahaan tambang
itu yang masuk ke kas Indonesia. Lebih jauh lagi, jumlah itu belum dipotong
untuk upeti kas para Jenderal negeri
ini. Entah benar atau tidak, saya berharap saya mendengar berita yang salah,
tapi, jika desas-desus itu salah, kenapa tidak datang juga kesejahteraan di
negeri ini? Dalam keterangan resmi Freeport, tertanggal 2 November 2011,
Freeport telah membagikan sejumlah 2 milyar dolar AS kepada Indonesia. Jumlah
tersebut dari pajak, royalti, dan deviden selama 9 bulan pertama di tahun ini
(2011). Andai saja, jumlah tersebut hanya sebesar 1% dari seluruh keuntungan
perusahaan tersebut, apa yang terjadi pada kesejahteraan rakyat Indonesia apabila
Indonesia mendapatkan keuntungan 100%? Solusi ketegangan di bumi Papua adalah
mudah, kembalikan Tembagapura—atau Emaspura—ke Papua dan Indonesia.
Serupa dengan
Freeport, masih ada sumber daya alam lain yang terekspoitasi bukan untuk
kemakmuran rakyat, sesuai Pasal 33 UUD 1945. Setelah eksploitasi, kemudian
ditutupi oleh propaganda media dan beasiswa. Musim mudik tahun 2011, saya
mendengar anekdot dari beberapa orang tua. Katanya, sombong sekali orang jaman
sekarang (minum saja, kok, beli), dulu (kami) untuk minum tinggal cari sungai
atau tinggal minta di rumah-rumah yang dilewati. Memang, dengan alasan
kepraktisan, higenitas, dan lain sebagainya, jaman akan selalu berubah, begitu
juga dengan kondisi sosialnya. Namun, sisi lain yang saya tangkap adalah bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya tidak dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat, namun dikuasai dan digunakan untuk kemakumuran label-label
perusahaan air minum kemasan. Lalu, mereka menyebarkan propaganda media. Paling
sering kita dengar adalah “it’s in me”.
Padahal, sudah berapa liter air yang “dicolong
dari pasal 33 UUD ‘45”? Ada juga
perusahaan minyak bumi asing yang menariknya, lebih dipercaya
eksekutor-eksekutor pembagian penambangan minyak bumi daripada Pertamina.
Kemudian, mereka membagi-bagikan beasiswa sebagai ganti atas blok Cepu yang
mereka ambil. Berapa banyak anak-anak Bojonegoro yang bisa bersekolah jika
tanah mereka dikelola oleh mereka (anak bangsa, red) sendiri?
Hegemoni liberalisme
juga dapat ditemukan pada buku teks pendidikan. Pada dasar pelajaran ekonomi,
prinsip yang ditekankan adalah memeroleh keuntungan sebanyak-banyaknya dari
sumberdaya yang sesedikit-sesedikitnya. Negara dunia ketiga, seperti Indonesia,
cocok untuk mewujudkan prinsip tersebut. Dalam film Penguasa Baru Dunia oleh
John Pilger, disebutkan celana pendek merek GAP yang dijual di Jalan Oxford
seharga seratus dua belas ribu rupiah per potong, upah buruh yang memroduksinya
di Indonesia sebesar lima ratus rupiah per potong. Demikian pula dengan sepatu
olahraga, dengan harga jual satu juta empat ratus ribu rupiah, buruh di
Indonesia hanya memeroleh upah sebesar lima ribu rupiah. Jumlah yang tidak
cukup bahkan untuk membeli tali sepatu. Jam kerja buruh pun maksimal. Dalam
film tersebut, menurut pengakuan buruh yang diwawancarai, mereka bekerja dua
puluh empat jam dengan dua kali istirahat, lalu setelah dua jam, mereka bekerja
kembali, atau sama dengan bekerja tiga puluh enam jam. Ada pula yang bekerja
untuk proses finishing dari pukul
delapan (pagi) hingga dua belas malam dalam kondisi berdiri. Pada sisi lain,
untuk mempromosikan produk Nike, Tiger Woods dibayar lebih mahal daripada upah
seluruh buruh untuk membuat sepatu tersebut. Buruh-buruh tidak dapat menolak
perlakuan sedemikian rupa karena kemiskinan dan pengangguran. Prinsip ini
bertolak belakang dengan amanat sila kelima Pancasila. Lalu, kenapa juga
prinsip (liberal) ini masih digunakan dan kemudian diajarkan? Saya kira, untuk
di Indonesia, prinsip dasar ekonomi ini harus dimodifikasi, sekiranya menjadi:
memanfaatkan sumberdaya alam seoptimal mungkin untuk manfaat seoptimal mungkin.
Saya lebih menyukai penggunaan optimal daripada sebesar-besarnya. Yang kedua
mengesankan kondisi yang memaksa.
Adanya perusahaan-perusahaan
multinasional serakah ini, pada beberapa catatan, saya menemukan karena
dosa-dosa sejarah. Pintu-pintu hegemoni liberalisme ini dibuka setelah Presiden
Soekarno—yang disebut oleh John Pilger adalah seorang nasionalis yang yakin
akan kemandirian ekonomi rakyatnya—digulingkan oleh Orde Baru atau Peristiwa
G30S. Setelah peristiwa itu (G30S) perekonomian Indonesia dibentuk dengan model
barat agar Barat lebih mudah menguasai sumber daya alam mineral, kini dapat
kita lihat hasilnya: Freeport, Exxon Mobil, dan lain sebagainya. Beberapa
penulis menyebutkan Indonesia kembali dijajah (kembali) sejak 1967. Globalisasi
adalah salah satu bentuknya. John Pilger menyebutkan pengertian globalisasi
bukan hanya hilangnya batas-batas perdagangan antara negara, namun aliran uang
yang besar dan aman dalam bentuk hutang.
Agaknya, sudah
habis saatnya untuk menelusuri dosa-dosa dan kebohongan-kebohongan sejarah.
Sudah habis juga kita bersikap pesimistis, Indonesia kalah dalam berbagai segi.
Seringlah kita dengar dalam diskusi-diskusi atau obrolan di warung kopi betapa
terpuruknya Indonesia. Saya sering menemukan itu dalam kuliah-kuliah. Dosen
begitu asyik membandingkan sistem di Indonesia—yang begitu hancur, jelek,
murah, dan lain sebagainya—dengan sistem yang kebanyakan dibandingkan dengan
barat—yang demikian bagus, maju, dan apapun yang indah. Dengan bangga mereka
mengatakan belajarlah ke negeri barat sana. Pola pikir mereka ini sudah
demikian kebarat-baratan—dan akhirnya menurun pada murid-muridnya. Inilah fase
dimana Indonesia kehilangan kepercayaan diri sekaligus ideologi. Masyarakat
terpelajar sudah begitu nyaman dengan segala beasiswa dan jenjang sosial ke
luar negeri sana. Padahal, kemakmuran Barat, disokong oleh Indonesia lewat
sumber daya alamnya.
Kini, jika
segala teknologi dan ideologi Barat sudah sedemikian maju—pun masyarakat
terpelajar Indonesia banyak dari sana, lalu mengapa Indonesia tidak juga maju? “…Kami
tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya?” (Ir.
Soekarno)
*tulisan konsep untuk sesuatu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar