Senin, 24 Oktober 2011

Dahak-Dahak Politik


Sekarang ini, lagi musim Pemira. Selebaran-selebaran ditempel, spanduk dipasang besar-besar—hmf, politik reklame. Hal inilah yang sebenarnya, bingung dengan yang namanya pesta demokrasi. Pesta itu identik dengan reklame-reklame ditempel dimana-mana. Lalu, gue sedikit bingung, emang bisa, ada perubahan yang signifikan, atau paling tidak sesuai dengan visi-misi yang diusung, hanya dengan selebaran-selebaran itu? karena gue pribadi, sih, ngerasain, mau di nasional atau di kampus, yang beginian cuma rame pas Pemira doang, selebihnya, ya, lagi-lagi sepi.

Kemaren pagi, gue ada kelas di H-Rek. Di seputar kelas, ada tempat mading, spesifiknya ada banyak mading dan di mading yang banyak itu ditempelin dengan reklame-reklame, sebutlah reklame politik. Dengan gaya calon yang begini-begitu—beberapa lucu, hyahahaha. Sejak dini kita sudah belajar tentang pejabat-pejabat yang kita cudahi. Ada pertanyaan besar yang mengganjal tentang hal itu, karena gue dan calon-calon itu sama-sama mahasiswa. Ya, kan?

Baru beberapa bulan yang lalu, gue pergi ke nyetak pamflet—atau sebutlah reklame. Walaupun sama-sama penuh warna, reklame yang gue cetak dan politik reklame ada pebedaan. Reklame gue dicetak vektor, hanya satu-tiga warna kalo ngga salah, sedangkan politik reklame ya, dicetak penuh foto—yang notabene akan banyak sekali warna, gradasi dan lain sebagainya.

Ketika gue ngeliat politik reklame, bukan isi reklame yang gue baca—karena hmf, akan begitu-begitu aja, tapi berapa kira-kira biayanya. Kemaren, pas gue cetak reklame basis vektor, dengan jumlah 460 kali cetak, satu-tiga warna, ukuran A4, ngabisin per reklamenya 1000 rupiah. Nah, politik reklame yang gue lihat di mading, ukurannya A3. Sebutlah mudahnya saja, karena ukurannya yang dua kali A4, estimasi biaya untuk politik reklame adalah 2000 rupiah per lembar. Belum beres disitu, sekali lagi reklame yang gue cetak adalah berbasis vektor yang jelas lebih sederhana ketimbang cetak foto, untuk ini harga politik reklame anggaplah jadi 2500. Lagi, gue nyetak reklame di kertas HVS, sementara itu politik reklame dicetak di kertas bagus yang gue ngga tau apa namanya, yang jelas kertasnya mirip-mirip kertas buat majalah Hai atau Femina. Semacam itulah. Untuk kertas yang keren ini, anggaplah biaya poltik reklame jadi 3000 rupiah per lembar.

Dulu, waktu masih di asrama, reklame-reklame ini disebar juga di tiap kamar, dengan ukuran A4 dibagi 4 . Anggaplah tahun ini juga akan seperti demikian. Akan banyak sekali selebaran-selebaran yang ditempel atau disebar. Artinya, bolehlah kita anggap percetakan semua politik reklame 1000 lembar. Kalo dikali harga per lembar, biaya untuk bikin politik reklame aja ada sejumlah 3 juta rupiah.

Ada pertanyaan besar yang mengganjal tentang hal itu, karena gue dan calon-calon itu sama-sama mahasiswa. Ya, kan? 3 juta rupiah bagi mahasiswa, bisa untuk apa aja?—selain untuk politik reklame. Untuk SPP semester ini aja, gue ngga sampe habis 3 juta. Sementara itu, di luaran sana, gue denger-denger, biaya semacam ini ada untuk jadi Gubernur atau Walikota, kisaran ratusan hingga milyaran rupiah. Apa kita—mahasiswa—sudah terjebak dengan apa yang kita demonstrasikan? Ah, atau aksi lebih disukai untuk disebut.

Itu baru dari selebaran, gimana dengan spanduk yang dua-tiga kali tinggi manusia itu? yang dipasang di tempat strategis—dan tidak gratis?

Ada hal yang mendasar dari pemilihan ini: pasti di kemudian ada yang kalah. Kalah lalu apa? Sudah? Uang yang lebih dari 3 juta rupiah gimana—3 juta pun masih hitungan asal-asalan. Gimana kalo bisa lebih? 4 juta? 6 juta? 10 juta? Baik, anggap saja baiknya, uang itu memang sudah ditabung calon-calon. Kalah adalah resiko. Tapi hidup juga kenyataan, Tuan. Tuan mau makan hal-hal normatif itu atau nasi? Lalu, untuk yang menang. Apa akan balik modal? Haha, gue jadi teringat sesuatu di Senanyan tentang balik modal. Jadi, dari mana uangnya? Kenapa juga jika uang itu dihasilkan oleh calon-calon itu adalah hasil bisnisnya, kenapa calon tertarik ke dunia politik kampus yang cuma setahun dan hanya ngejalanin proker yang itu-itu aja? Ah, tapi gue lupa, ketika gue baca latar belakang yang ada di selebaran-selebaran, calon-calon itu ngga ada pengalaman bisnisnya, entah bener-bener ngga ada atau emang sengaja ngga ditulis. Entahlah.

Beberapa waktu yang lalu, gue berkesampatan ngobrol dengan salah seorang teman yang—tadinya—minat nyalonin diri. Kemudian, dia kemukakan maksudnya itu pada forum-forum terbatas. Ah, sebutlah forum kelas. Hanya sebatas kelas. Ngga beberapa lama, Seluler temen gue itu ada yang nelpon dan inilah yang bikin gue bengong: telpon dari sebuah partai politik yang menawarkan dukungan. Dukungan atau ‘dukungan’? Ah, entahlah. Tapi, orientasi politik di ini negeri masih jual-beli. Jadi, gue berpendat sendiri memang ‘dukungan’ yang ditawarkan di hubungan telpon itu. Aih. Juga, temen gue ditelpon oleh calon-calon lainnya. Entah untuk semacam sowan atau jual-beli lagi. Gila! Kita emang mahasiswa pertanian. Tapi, dagang sapi bukan gini caranya!

Gue lalu berpikir, ada benernya juga tidak memilih adalah sebuah pilihan. Dahak-dahak politik bukan cuma hubungan jadi panas gara-gara rebutan kekuasaan, kampanye terselubung dan sangat halus, tapi juga jual-beli. Agaknya, mulai sekarang gue akan sedikit miris ngeliat demo—eh, aksi—di televisi. Setidaknya, gue akan berpikir, apakah ini demonstrasi atau salah satu jual-beli? Gue sedikit kesal, atau sedih, atau apalah itu namanya, ketika hari Kebangkitan Nasional nanti kita akan kembali demonstrasi, lalu hilang. Hanya euforia sementara. Bukan aksi yang bisa membuat tambahan paragraf di buku-buku sejarah Indonesia beberapa tahun ke depan. Muak!

Sepertinya, kita harus minta maaf pada Jenderal Soedirman. Atas tanah yang beliau pertahankan tapi kita pijak. Maaf, Jenderal!

1 komentar:

  1. Kenapa tidak dibuat saja laporan mendalam untuk menelusuri proses kampanye Pemira ini, berapa dana yang dikeluarkan dan mungkin bisa dikorek dari mana dana tersebut berasal. Mendewasakan kehidupan demokrasi di kampus ini, bahkan di negeri ini, perlu dilakukan melalui jalan pengetahuan serta pemahaman.
    Semoga bisa menjadi lebih baik kedepannya :D

    BalasHapus