Jumat, 07 Oktober 2016

Suatu Senja di Kota Batu

Naik kendaraan umum menyenangkan. Di depan kursiku bukan jalan panjang membentang. Di depanku ada cerita yang dibagi, tentang waktu yang berjalan dan cerita di dalamnya. Ada kejutan diantaranya, nah, itulah yang membuatnya menjadi menyenangkan.

Saat ini, aku punya satu-dua teman seperjalanan, untuk perjalanan yang kali sepakati untuk sama. Aku dan satu temanku ini sama-sama lelah untuk membungkuk mencari hormat. Itu sudah kami lakukan sepanjang lebih dari setengah usia kami saat ini. Aku dan satu temanku sepakat untuk lelah dan membungkuk karena berjalan, bukan mengiba.

Punya teman perjalanan memang menyenangkan. Ada banyak cerita lain yang bisa dibagi atau dikerjakan bersama--walaupun bodoh, aku menikmatinya. Belajar bukan sekadar mengamati.

Bukan tertipu yaitu kosakata yang pas untuk mewakili ini. Aku hanya kecele sedikit. Setelah ibunya, ada pacarnya, yang membuat peta perjalanan satu temanku itu berubah. Ini bukan tipu dayanya. Ini adalah keputusannya. Toh, tidak ada peta perjalanan yang benar-benar sama. Toh, di peta perjalanannya yang diperbaruhi, masih ada arah menuju tujuan kami. Waktu adalah bahan bakarnya.

Aku memaafkan diriku di atas bianglala yang disediakan pemkot batu. Naiknya hanya tiga ribu rupiah. Aku ke sana sendirian. Barangkali, itu sebabnya aku bisa fokus pada diriku sendiri. Aku menikmati setiap prosesnya. Aku tidak sedih. Aku serius bicara seperti ini. Tidak ada asosiasi makna di paragraf ini.

Sore ini, aku ngga di batu. Ia sejauh tujuh kilometer saja. Aku ingin naik bianglala, tapi ngga bisa. Aku ngga bisa menikmati senja di kota batu, padahal bohlam motor bulekku sudah kuganti, jadi ngga takut kalau pulang lewat petang. Tapi, tetap saja aku ngga boleh sedih. Dia bilang bercanda kok. Tapi, aku tetap saja sedih. Ya, aku memang ngga sebercanda itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar