Minggu, 05 Juni 2011

Gelas-Gelas yang Berceloteh tentang Bulan Desember

Dingin sudah meresap hingga ke sumsum tulang belakang. Bulu-bulu kakikku sudah paling pertama berdiri meski sudah diselimuti celana hangat tiga lapis. Aku bisa melihat uap udara yang aku hembus dan Hei! Aku bahkan bisa melihat mereka menyatu lagi dengan habitatnya, kalau mataku beruntung pada posisi yang pas, dari uap itu aku bisa melihat satu garis pelangi berukuran satu setengah mili menari-nari.

Dan aku tidak usah merokok.

Hari sudah semakin senja. Pohon tua itu masih saja kekar ada disana. Aku mengejek, dibalik selusur batang yang kelihatannya coklat legam itu pasti terdapat beberapa jaringan floem yang mulai renta, jadi kadang di hari-hari sulit pohon itu serak kehausan. Aku terkekeh-kekeh. Aku juga begitu, malah lebih parah.

Daun pintu berdenyit-denyit dibuka. Ah, wanita itu. Peot, tapi masih punya tempat dihatiku. Pun bagaimana tidak? Sudah kaki ini dipotong limabelas kali dia masih datang dengan senyuman. Seperti sekarang, senyum yang mengundang keriput di ujung mata dan sedikit kerut di pinggir hidung sedkit minggir ke pipi. Weladalah! Tua tidak mampu mengusir sepasang lesung di pipi burung merakku. Lehernya dipeluk syal warna biru dongker berpilin warna putih pada ujung-ujungnya. Tampilan renta pada umumnya. Hahaha. Burung merakku yang manis membawa satu nampan dengan dua gelas teh mengepul diatasnya. Oh, ya, dia juga membawa satu simpul senyuman yang sejak pertama kali bertatap muka dengan dia, itulah yang bikin aku jatuh cinta. Hahaha, aku tertawa lagi. Dialah wanita renta sedangkan aku masih begini muda.

Baik, kamu boleh tertawa sekarang. Kamu sudah melihat kursi rodaku, melihat rambut berwarna hitam disela-sela rambut putih, apa namanya? Uban?
Nampan di taruh disebelah tenggara bahuku. Ini bulan Desember. Gelasnya beradu, berdenting, bernyanyi, bernada melodi. Sebuah nada, lagu, dan simfoni, yang kemudian membawa aku pada pandangan hitam putih, lima puluh lima tahun yang lalu.

DESEMBER, 2000. Aku termangu dibalik tirai jendela. Ya, benar. Tentu dibalik jendela juga sementara tampak hamparan lapangan—yang kataku itu adalah surga—sedang kehujanan tanpa berpayung. Aku yang kecil memang gila. Jika sedang hujan begini, entahlah gerimis atau hujan lebat, aku senang memandangi lapangan rumput tempatku bermain segala rupa dan berimajinasi tentang bermacam-macam monster didalamnya yang sedang basah sambil berharap datang seorang raksasa yang membawa payung—bukan jas hujan, aku tidak suka jas hujan! Pasti pemilikinya orang yang egois—dan kemudian memayungi lapangan itu. Setelah itu aku akan melompat berguling-guling dan memanggil teman-temanku satu persatu dan bermain kembali. Aku akan menenteng satu bola sepak, atau sepasang raket dan satu buah kok, dan lain sebagainya.

Itu yang kulakukan jika dirumah bapakku sudah pulang dari pekerjaannya. Jika beliau sedang lembur, oho, jangan ditanya. Aku akan menggelandang keluar bak sapi gila. Menendang-nendang satu genggam lumpur sambil menantang teman-temanku ikut denganku. Dasar banci jika kamu tidak mau ikut denganku disini! Disini kamar mandi raksasa! Tidak ada sabun atau sampo! Hanya ada lumpur dan kesenangan. Kebebasan. Riang. Gembira. Banyak teman-temanku yang menyambut tantanganku, sebagian besar tidak ikut. Ayahnya sudah pulang kerja.
Tapi, di Desember itu, aku kebanyakan jadi banci.

Satu sajalah sebagai alasan aku mau jadi banci, walaupun ayahku sudah pulang. Adalah sosok perempuan yang bernyanyi bersama sekelompok gelas di dapur. Aku mengintip dari balik belahan pintu. Ibu juga bernyanyi dengan satu rantang air panas dan beberapa lembar teh celup serta beberapa sendok gula yang amat manis. Ibu mengawinkan mereka semua jadi satu. Gelas-gelas jadi kursi pelaminannya. Gelas-gelas berdenting-denting. Bernyanyi lagu-lagu romantis. Dendang Ebiet G.Ade bolehlah tersaingi kalau begini. Ting.., ting.., ting…

DESEMBER 2015. Kenapa waktu itu terlampau begitu cepat. Kenapa juga ada bulan Desember 2015. Inginku, sih, setelah 31 November 2015 semua jagat padu setuju langsung 1 Januari 2016. Aku tidak sampai hati melihat dua nisan kembar digores bulan Desember 2015 atas nama ayah dan ibu. Sayangnya, tidak ada pelangi yang ikut di potongan nisan dari kayu itu. Ketika kerumunan bubar, aku masih tegak berdiri tanpa payung—jangan tanya jas hujan! Aku benci!. Bingung aku bingung. Aku bingung membedakan mana yang air hujan dan air mata di pipiku yang penuh jerawat dan luka bekas cacar. Tangan kananku membawa sepasang gelas yang biasa ibu dan aku gunakan buat nge-tehbareng. Sebelah tanganku yang lain membawa sepasang gelas yang biasa ayah dan aku ngopibareng. Aku adil, di bulan Desember 2005, 2006, 2007, … , 2015 awal. Ting.., ting.., ting…

Ajakan pulang dari abangku, tetehku, adikku, sepupuku, dan… ah, aku malas menyebutnya satu-satu mampir ke punggung. Mereka tampaknya tidak terlalu berani mengajak wajahku, mereka juga tak berani mengajak telinga, tangan, kaki, apalagi lubuk hati. Mereka takut atau mungkin juga maklum.  Aku ingin disini dulu. Bernyanyi untuk kedua orang ini. Ting.., ting.., ting… dengan gelas-gelas ini… Ting.., ting.., ting…

Aku ingat ketika bapak membelikanku satu buah sepeda motor idola. Aku senang bukan main. Aku ngebut-ngebutan dengan itu. Lupa dengan dunia dan bapak. Dunia milikku, apalagi jalanan ini. Aku jatuh gara-gara kerikil. Tanganku patah tulang terbuka. Aku menangis. Dunia bukan milikku. Aku menangis. Pada bapakku. Aku jadi tidak lupa dengan bapak.
Aku ingat ketika minta kuliah pada ibuku. Aku belajar rajin supaya toga cepat-cepat aku beli. Aku belajar, belajar, belajar, dan bergaul. Aku ingat ibu. Aku belajar, belajar, dan bergaul, bergaul. Aku masih ingat ibu. Aku belajar dan bergaul, bergaul, bergaul, bergaul. Aku mulai lupa ibu. Aku bergaul, bergaul, bergaul, bergaul. Aku hanya ingat ibu di pengujung bulan. Toga jadi lima tahun lagi. Aku tidak peduli, juga dengan absen-absenku. Aku titip. Peduli amat soal ilmuku. Aku DO. Aku ingat ibu lagi.

Aku bukan bernyanyi! Aku meraung menyeringai. Gelas-gelas bukan berbunyi, “Ting.., ting.., ting…” lagi, tapi, “PRANG!”. Aku jadi mengerti mana air hujan mana air mata.


DESEMBER 2055. Aku mau lagi bernyanyi dengan gelas-gelas ini. Apalagi yang diseduh dengan tangan burung merakku. Berbahagialah mereka yang masih punya cinta (Soe Hok Gie)

wilaga azman kharis, Febuari 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar